Doktrin Doktrin Ahlus Sunnah
Wal Jamaah Dibidang Aqidah
a. Konsep Iman Menurut Aswaja
Pengertian iman dari bahasa Arab yang artinya percaya. Sedangkan menurut istilah, pengertian iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan
tindakan (perbuatan). Dengan demikian,
pengertian iman kepada Allah adalah membenarkan dengan hati
bahwa Allah itu benar-benar ada dengan segala sifat keagungan dan
kesempurnaanNya, kemudian pengakuan itu diikrarkan dengan lisan,
serta dibuktikan dengan amal perbuatan secara nyata.
Jadi, seseorang dapat dikatakan sebagai mukmin (orang
yang beriman) sempurna apabila memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila
seseorang mengakui dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak
diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Sebab, ketiga
unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dipisahkan.
b.
Sifat-Sifat Allah
· Wujud : Artinya Ada
Yaitu tetap dan benar yang wajib bagi zat Allah Ta’ala
yang tiada disebabkan dengan sesuatu sebab. Maka wujud ( Ada ) – disisi Imam
Fakhru Razi dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi bukan ia a’in maujud dan bukan lain
daripada a’in maujud , maka atas qaul ini adalah wujud itu Haliyyah ( yang
menepati antara ada dengan tiada) . Tetapi pada pendapat Imam Abu Hassan
Al-Ashaari wujud itu ‘ain Al-maujud , karena wujud itu zat maujud karena
tidak disebutkan wujud melainkan kepada zat. Kepercayaan bahwa wujudnya Allah SWT.
bukan saja di sisi agama Islam tetapi semua kepercayaan di dalam dunia ini
mengaku menyatakan Tuhan itu ada.
· Qidam : Artinya Sedia
Pada hakikatnya menafikan ada permulaan wujud Allah
SWT karena Allah SWT. menjadikan tiap-tiap suatu yang ada, yang demikian tidak
dapat tidak keadaannya lebih dahulu daripada tiap-tiap sesuatu itu. Jika
sekiranya Allah Ta’ala tidak lebih dahulu daripada tiap-tiap sesuatu, maka
hukumnya adalah mustahil dan batil. Maka apabila disebut Allah SWT. bersifat
Qidam maka jadilah ia qadim. Di dalam Ilmu Tauhid ada satu perkataan yang sama
maknanya dengan Qadim Yaitu Azali.
· Baqa’ : Artinya Kekal
Sentiasa ada, kekal ada dan tiada akhirnya Allah SWT .
Pada hakikatnya ialah menafikan ada kesudahan bagi wujud Allah Ta’ala. Adapun
yang lain daripada Allah Ta’ala , ada yang kekal dan tidak binasa
Selama-lamanya tetapi bukan dinamakan kekal yang hakiki ( yang sebenar ) Bahkan
kekal yang aradhi ( yang mendatang jua seperti Arasy, Luh Mahfuz, Qalam, Kursi,
Roh, Syurga, Neraka, jisim atau jasad para Nabi dan Rasul ). Perkara –perkara
tersebut kekal secara mendatang tatkala ia bertakluq dengan Sifat dan Qudrat
dan Iradat Allah Ta’ala pada mengekalkannya. [2]
· Mukhalafatuhu Lilhawadith. Artinya : Berbeda
dengan makhluknya
Pada zat , sifat atau perbuatannya sama ada yang baru
, yang telahada atau yang belum ada. Pada hakikat nya adalah menafikan Allah
Ta’ala menyerupai dengan yang baharu pada zatnya , sifatnya atau perbuatannya.
Sesungguhnya zat Allah Ta’ala bukannya berjirim dan bukan aradh Dan tiada
sesekali zatnya berdarah , berdaging , bertulang dan juga bukan jenis leburan ,
tumbuh-tumbuhan , tiada berpihak ,tiada bertempat dan tiada dalam masa.
· Qiyamuhu Binafsihi : Artinya : Berdiri dengan sendirinya
.
Tidak berkehendak kepada tempat berdiri ( pada zat )
dan tidak berkehendak kepada yang menjadikannya Maka hakikatnya ibarat daripada
menafikan Allah SWT. berkehendak kepada tempat berdiri dan kepada yang
menjadikannya. Allah SWT itu terkaya dan tidak berhajat kepada sesuatu sama
adapada perbuatannya atau hukumannya. Allah SWT menjadikan tiap-tiap sesuatu
dan mengadakan undang-undang semuanya untuk faedah dan maslahah yang kembali
kepada sekalian makhluk .
· Wahdaniyyah. Artinya : Esa Allah Ta’ala pada zat,
pada sifat & pada perbuatan.
Maka hakikatnya ibarat daripada menafikan berbilang
pada zat, pada sifat dan pada perbuatan sama ada bilangan yang muttasil (yang
berhubung ) atau bilangan yang munfasil ( yang bercerai ). Makna Esa Allah SWT
pada zat itu Yaitu menafikan Kam Muttasil pada Zat ( menafikan bilangan yang
berhubung dengan zat ) seperti tiada zat Allah Ta’ala tersusun daripada darah ,
daging , tulang ,urat dan lain-lain. Dan menafikan Kam Munfasil pada zat (
menafikan bilangan yang bercerai pada zat Allah Ta’ala )seperti tiada zat yang
lain menyamai zat Allah Ta’ala.[3]
· Al – Qudrah : Artinya : Kuasa
Memberi bekas pada mengadakan meniadakan tiap-tiap
sesuatu. Pada hakikatnya ialah satu sifat yang qadim lagi azali yang thabit (
tetap ) berdiri pada zat Allah SWT. yang mengadakan tiap-tiap yang ada dan
meniadakan tiap-tiap yang tiada bersetuju dengan iradah. Adalah bagi manusia
itu usaha dan ikhtiar tidak boleh memberi bekas pada mengadakan atau meniadakan
, hanya usaha dan ikhtiar pada jalan menjayakan sesuatu . Kepercayaan dan
iktiqad manusia di dalam perkara ini berbagai-bagaiFikiran dan fahaman
seterusnya membawa berbagai-bagai kepercayaan dan iktiqad.
· Iradah : Artinya : Menghendaki
Maksudnya menentukan segala mumkin ttg adanya atau
tiadanya. Sebenarnya adalah sifat yang qadim lagi azali thabit berdiri pada Zat
Allah Ta’ala yang menentukan segala perkara yang harus atau setengah yang harus
atas mumkin . Maka Allah Ta’ala yang selayaknya menghendaki tiap-tiap sesuatu
apa yang diperbuatnya. Umat Islam beriktiqad akan segala hal yang telah berlaku
dan yang akan berlaku adalah dengan mendapat ketentuan daripada Allah Ta’ala
tentang rezeki , umur , baik , jahat , kaya , miskin dan sebagainya serta wajib
pula beriktiqad manusia ada mempunyai nasib ( bagian ) di dalam dunia ini.
· ‘Ilmu : Artinya : Mengetahui
Maksudnya nyata dan terang meliputi tiap-tiap sesuatu
sama ada yangMaujud (ada) atau yang Ma’adum ( tiada ). Hakikatnya ialah satu
sifat yang tetap ada ( thabit ) qadim lagi azali berdiri pada zat Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala Maha Mengetahui akan segala sesuatu sama ada perkara. Itu
tersembunyi atau rahasia dan juga yang terang dan nyata. Maka ’ilmu Allah
Ta’ala Maha Luas meliputi tiap-tiap sesuatu diAlam yang fana’ ini.[4]
· Hayat . Artinya : Hidup
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap qadim lagi azali berdiri pada zat
Allah Ta’ala . Segala sifat yang ada berdiri pada zat daripada sifat Idrak (
pendapat ) Yaitu : sifat qudrat, iradat , Ilmu , Sama’ Bashar dan Kalam.
· Sama’ : Artinya : Mendengar
Hakikatnya ialah sifat yang tetap ada yang qadim lagi
azali berdiri pada Zat Allah Ta’ala. Yaitu dengan terang dan nyata pada
tiap-tiap yang maujud sama ada yang maujud itu qadim seperti ia mendengar
kalamnya atau yang ada itu harus sama ada atau telah ada atau yang akan
diadakan. Tiada terhijab (terdinding ) seperti dengan sebab jauh , bising ,
bersuara , tidak bersuara dan sebagainya.
· Bashar : Artinya : Melihat
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada yang qadim
lagi azali berdiri pada zat Allah Ta’ala. Allah Ta’ala wajib bersifat Maha
Melihat sama ada yang dapat dilihat oleh manusia atau tidak, jauh atau dekat ,
terang atau gelap , zahir atau tersembunyi dan sebagainya. Firman Allah Ta’ala
yang bermaksud : ” Dan Allah Maha Melihat akan segala yang mereka kerjakan “. (
Surah Ali Imran – Ayat 163)
· Kalam : Artinya : Berkata-kata
Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada , yang
qadim lagi azali , berdiri pada zat Allah Ta’ala. Menunjukkan apa yang
diketahui oleh ilmu daripada yang wajib, maka ia menunjukkan atas yang wajib
sebagaimana firman Allah Ta’ala yang bermaksud : ” Aku Allah , tiada tuhan
melainkan Aku ………”. ( Surah Taha – Ayat 14 ) Dan daripada yang mustahil
sebagaimana firman Allah Ta’ala yang bermaksud : ” ……..( kata orang Nasrani )
bahwasanya Allah Ta’ala yang ketiga daripada tiga……….”. (Surah Al-Mai’dah –
Ayat 73). Dan daripada yang harus sebagaimana firman Allah Ta’ala yang
bermaksud : ” Padahal Allah yang mencipta kamu dan benda-benda yang kamu
perbuat itu”. (Surah Ash. Shaffaat – Ayat 96). Kalam Allah Ta’ala itu satu
sifat jua tiada berbilang.
· Kaunuhu Qadiran : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang
Berkuasa Mengadakan Dan Mentiadakan.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah
Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat
Qudrat.
· Kaunuhu Muridan : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala
Yang Menghendaki dan menentukan tiap-tiap sesuatu.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah
Ta’ala , tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat
Iradat.
· Kaunuhu ‘Aliman : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala
Yang Mengetahui akan Tiap-tiap sesuatu.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah
Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat ‚Ilmu.
· Kaunuhu Hayyun : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Hidup.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah
Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Hayat.
· Kaunuhu Sami’an : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala
Yang Mendengar akan tiap-tiap yang Maujud.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah
Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum, Yaitu lain daripada sifat Sama’.
· Kaunuhu Bashiran : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang
Melihat akan tiap-tiap yang Maujudat ( Benda yang ada ).
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah
Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat
Bashar.
· Kaunuhu Mutakalliman : Artinya : Keadaan
Allah Ta’ala Yang Berkata-kata.
Hakikatnya Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah
Ta’ala, tiada ia maujud dan tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Kalam.
c. Melihat Allah
Kaum mukminin mengimani akan melihat Allah dengan mata
kepala sendiri di akhirat, termasuk salah satu wujud iman kepada Allah,
kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Mereka akan melihatnya secara jelas,
bagaikan melihat matahari yang bersih, sedikitpun tiada terliputi awan. Juga
bagaikan melihat bulan pada malam purnama, tanpa berdesak-desakan.
Demikian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskannya dalam Al
Aqidah Al Wasithiyah . Dan ini merupakan kesepakatan Salafush Shalih
Radhiyallahu 'anhum.[5]
Imam Ibnu Abi Al Izz Al Hanafi, pensyarah kitab Aqidah
Thahawiyah, menegaskan bahwa jelasnya kaum mukminin melihat Rabb-nya pada hari
akhirat nanti, telah dinyatakan oleh para sahabat, tabi’in, serta para imam
kaum muslimin yang telah dikenal keimaman mereka dalam agama. Begitu pula para
ahli hadits dan semua kelompok Ahli Kalam yang mengaku sebagai Ahli Sunnah Wal
Jama’ah.[6] Mengapa
demikian? Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, salah seorang ulama senior di
Saudi Arabia, menjelaskan: “Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberitakan
hal tersebut dalam KitabNya ; Al Qur’an Al Karim. Begitu pula Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah memberitakannya dalam Sunnahnya.
Barangsiapa yang tidak mengimani kejadian ini, berarti ia mendustakan Allah,
kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Sebab orang yang beriman kepada Allah,
kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya, akan beriman pula kepada segala yang
diberitakannya”. Dalil-dalilnya, seperti yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al Aqidah Al Wasithiyah
Dalil Dari Al Qur’an Al Karim Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
Dalil Dari Al Qur’an Al Karim Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
وُجُوهُُ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
Artinya Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada
Rabb-nya mereka melihat.. [Al Qiyamah : 22-23].
d. Kedudukan Al-Qur’an Dan Al-Hadis (Naqli) Dan (AQli)
Al-Qur’an sebagai kitab Allah SWT menempati posisi
sebagai sumber pertama dan utama dari seluruh ajaran Islam,baik yang mengatur
hubungan manusia dengan dirinya sendiri,hubungan manusia dengan Allah
SWT,hubungan manusia dengan sesamanya,dan hubungan manusia dengan alam.
Para ulama Islam berpendapat bahwa hadis menempati
kedudukan pada tingkat kedua sebagai sumber hukum Islam setelah
Al-Qur’an.Mereka beralasan kepada dalil-dalil Al-Qur’an surah
Ali-’Imran,3:132,surah Al-Ahzab,33:36 dan Al-Hasyr,59:7,serta hadis riwayat
Turmuzi dan Abu Daud yang berisi dialog antara Rasulullah SAW dengan sahabatnya
Mu’az bin Jabal tentang sumber hukum Islam.
Fungsi atau peranan hadis (sunah) di samping
Al-Qur’anul Karim adalah:1) Mempertegas atau memperkuat hukum-hukum yang telah
disebutkan dalam Al-Qur’an (bayan at-taqriri atau at-ta’kid).2)
Menjelaskan,menafsirkan,dan merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum dan
samar (bayan at-tafsir).3) Mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak
tercantum dalam Al-Qur’an (bayan at-tasyri;namun pada prinsipnya tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an.
e. Al-Qur’an Sebagai Kalamullah
Syaikh Abu Utsman Isma’il Ash-Shabuni berkata:
“Ashhabul Hadits bersaksi dan berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah
(ucapan Allah), Kitab-Nya dan wahyu yang diturunkan, bukan makhluk. Siapa yang
menyatakan dan berkeyakinan bahwa ia makhluk maka kafir menurut pandangan
mereka. Al-Qur’an merupakan wahyu dan kalamullah yang diturunkan melalui Jibril
kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dengan bahasa Arab untuk
orang-orang yang berilmu sebagai peringatan dan kabar gembira, sebagaimana
firman Allah ta’ala:
وَإِنَّهُ لَتَنزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ – نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ – عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ – بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ
Artinya: “Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan
oleh Rabb semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam
hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (Asy-Syu’ara: 192-195)
Al-Qur’an yang dihafal dalam hati, dibaca oleh lisan,
dan ditulis dalam mushaf-mushaf, bagaimanapun caranya Al-qur’an dibaca oleh
qari’, dilafadzkan oleh seseorang, dihafal oleh hafidz, atau dibaca dimanapun
ia dibaca, atau ditulis dalam mushaf-mushaf dan papan catatan anak-anak dan
yang lainnya adalah kalamullah-bukan makhluk. Siapa yang beranggapan bahwa ia
makhluk, maka telah kufur kepada Allah Yang Maha Agung.
Al-Imam Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah
berkata: “Al-Qur’an adalah kalamullah-bukan makhluk. Siapa yang mengatakan
Al-Qur’an adalah makhluk, maka dia telah kufur kepada Allah Yang Maha Agung,
tidak diterima persaksiannya, tidak dijenguk jika sakit, tidak dishalati jika
mati, dan tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Ia diminta taubat,
kalau tidak mau maka dipenggal lehernya. Abu Ishaq bin Ibrahim pernah ditanya
tentang lafadz Al-Qur’an, maka Beliau berkata: “Tidak pantas untuk
diperdebatkan. ‘Al-Qur’an kalamullah-bukan makhluk “. Imam Ahmad bin Hambal
berkata: “Orang yang menganggap makhluk lafadz Al-Qur’an adalah Jahmiyah, Allah
berfirman:
فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلاَمَ اللّهِ
Artinya: “maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar kalamullah’
(At-Taubah:6).
f. Kasab atau Usaha, Qadha Dan Qadar
Pengertian Qadha dan Qadar Menurut bahasa Qadha memiliki
beberapa pengertian yaitu: hukum, ketetapan,pemerintah, kehendak,
pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah Islam, yang dimaksud dengan qadha
adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya tentang
segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk. Sedangkan Qadar arti
qadar menurut bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran. Adapun menurut Islam
qadar perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam
kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya. Firman Allah: Artinya: yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia
tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya), dan
dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya
dengan serapi-rapinya. (QS .Al-Furqan ayat 2).
Untuk memperjelas pengertian qadha dan qadar, berikut
ini dikemkakan contoh. Saat ini Abdurofi melanjutkan pelajarannya di SMK.
Sebelum Abdurofi lahir, bahkan sejak zaman azali Allah telah menetapkan, bahwa
seorang anak bernama Abdurofi akan melanjutkan pelajarannya di SMK. Ketetapan
Allah di Zaman Azali disebut Qadha. Kenyataan bahwa saat terjadinya disebut
qadar atau takdir. Dengan kata lain bahwa qadar adalah perwujudan dari qadha.
Hubungan antara Qadha dan Qadar
Pada uraian tentang pengertian qadha dan qadar
dijelaskan bahwa antara qadha dan qadar selalu berhubungan erat . Qadha adalah
ketentuan, hukum atau rencana Allah sejak zaman azali. Qadar adalah kenyataan
dari ketentuan atau hukum Allah. Jadi hubungan antara qadha qadar ibarat
rencana dan perbuatan. Perbuatan Allah berupa qadar-Nya selalu sesuai dengan
ketentuan-Nya. Di dalam surat Al-Hijr ayat 21 Allah berfirman, yang artinya
sebagai berikut: Artinya ” Dan tidak sesuatupun melainkan disisi kami-lah
khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang
tertentu.”
Orang kadang-kadang menggunakan istilah qadha dan
qadar dengan satu istilah, yaitu Qadar atau takdir. Jika ada orang terkena musibah,
lalu orang tersebut mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya qadha dan qadar.
Kewajiban beriman kepada dan qadar
Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah SAW didatangi
oleh seorang laki-laki yang berpakaian serba putih , rambutnya sangat hitam.
Lelaki itu bertanya tentang Islam, Iman dan Ihsan. Tentang keimanan Rasulullah
menjawab yang artinya: Hendaklah engkau beriman kepada Allah,
malaekat-malaekat-Nya, kitab-kitab-Nya,rasul-rasulnya, hari akhir dan beriman
pula kepada qadar(takdir) yang baik ataupun yang buruk. Lelaki tersebut
berkata” Tuan benar”. (H.R. Muslim).
g. Surga Dan Neraka
Jika Allah sudah selesai memperhitungkan amal
hamba-hambaNya, para penghuni surga akan dimasukan ke dalam surga dan para
penghuni neraka dicampakkan ke dalam neraka. Keimanan pada kebenaran ini adalah
bagian dari keimanan pada Allah. Tidaklah benar iman seseorang yang beriman
kepada Allah, tetapi ia mengingkari surga dan neraka. Surga dan neraka adalah
salah satu alam gaib Allah, sebagaimana halnya malaikat, hari akhir, dan cara
perhitungan amal. Selanjutnya, keimanan pada Allah berarti beriman pada yang
gaib, sebagaiman telah dibahas sebelumnya.
Ketika menggambarkan neraka, Allah berfirman:
Yang artinya: “Bagi mereka lapisan-lapisan dari api di
atas mereka dan di bawah merekapun lapisan-lapisan (dari api). Demikianlah
Allah mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan azab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku
hai hamba-hamba-Ku “.( Az Zumar : 16 ).
Ketika menggambarkan surga, Allah berfirman:
Artinya: “Dan sampaikanlah berita gembira kepada
mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan
dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : “Inilah yang pernah diberikan kepada
kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di
dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” ( Al
Baqarah :25)
Ketika Allah berfirman bahwa ada neraka yang membakar
kulit, lalu Dia menggantikan kulitnya dengan kulit yang lain agar terus-menerus
dibakar, di sini kita memahami bahwa tubuh manusia tidaklah sama seperti ketika
di dunia ini. Ada sesuatu yang tidak diketahui terjadi pada tubuh manusia dan
membuatnya tidak mati. Dari realitas kehidupan di muka bumi, kita tahu
bahwa jika api membakar kulit seseorang seluruhnya, ia akan mati seketika.
Lalu, bagaimana api di akhirat membakar kulit manusia dan Allah menggantikannya
dengan kulit lain agar pembakaran terus berlangsung? Apakah kematian akan mati
di Hari kiamat kelak? Atau, apakah kita akan menjadi mahluk lain yang
memperoleh berbagai siksaan di neraka Jahim atau memperoleh segala macam
kenikmatan di surga?
Alquran menunjukkan adanya perbedaan wujud manusia di dunia dengan
penciptaan yang baru di akhirat, di Hari Kiamat kelak:
Artinya: Kami telah menentukan kematian di antara kalian. Kami sekali-kali
tidak dapat dikalahkan…
Al quran tidak memberitahukan wujud lain manusia di
akhirat kelak. Meskipun demikian, ia menyebutkan dengan jelas bahwa penciptaan
bentuk lain ini berada dari penciptaan wujud pertama di dunia. Mungkin inilah
benang pertama menakutkan yang mengantarkan kita menuju apa yang dijanjikan
Allah. Kekuatan manusia untuk menanggung beban di muka bumi ini dibatasi oleh
kehidupan dan tubuhnya. Sementara itu, kekuatan manusia untuk menanggung beban
sesudah kebangkitannya dari kematian di akhirat kelak tidak dibatasi oleh apa
pun. Dengan kata lain, kenikmatan dan siksaan di akhirat berlangsung
terus-menerus dan bersifat kekal. Inilah hakikat pertama yang cukup untuk
menyulut ketakutan dalam hati manusia. Usia relatif manusia di muka bumi ini
berkisar antara enam puluh sampai seratus tahun, meskipun ada yang lebih dari
itu. Namun, kelebihan itu tidaklah banyak. Dari segi ruang dan waktu, apakah
bertahun-tahun ini sama dengan siksaan yang tidak pernah berhenti? Alquran
memberitahukan kepada kita bahwa keras dan pedihnya azab Allah menyebabkan
orang-orang kafir ingin mati dan berteriak. Mereka berseru: “Hai Malik
biarlah Tuhanmu membunuh kami saja.” Dia menjawab: “Kamu akan tetap tinggal (di
neraka ini).” (Az Zukhruf : 77). Malik adalah nama salah satu malaikat
penjaga neraka yang sangat kasar. Para penghuni abadi neraka mencari perantara
lewat Malik untuk mengantarkan mereka kepada Tuhannya, agar Dia mematikan
mereka dan mengambil putusan atas mereka. Dengan singkat, jelas, pasti dan
penuh ketenangan, Malik menjawab, “Kamu akan tetap tinggal di sini.” Jadi,
tidak ada angan-angan untuk dapat keluar dari neraka dan tidak juga angan-angan
untuk mati. Tidak ada jalan menuju peristirahatan.
A. Doktrin Aswaja di
Bidang Sosial-Politik
Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas
umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat,
melayani mereka serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah).
Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas
kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga –sebagaimana mengurus
jenazah– jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah
kewajiban lainnya.
Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah
termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh
Syi’ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal
ini berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya
seorang Imam apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri.
Aswajtidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi
kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi
ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat)
yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara
tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa diterima sebagai pemerintahan
yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut. Sebaliknya, meskipun
suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak
penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah
dibenarkan dalam Aswaja.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara
tersebut adalah:
a. Prinsip Syura
(Musyawarah)
Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura
42: 36-39:
فَمَا أُوتِيتُم مِّن
شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى
لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ
كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ.
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى
بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ
الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ
Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu
adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan
lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka,
mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan
(bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela
diri.
Menurut ayat di atas, syura merupakan
ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari
dosa-dosa besar (ijtinabul kaba’ir), memberi ma’af setelah marah, memenuhi
titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan-akan
musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam.
b. Al-‘Adl (Keadilan)
Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam
Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam)
terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa’
4:58
إِنَّ الَّذِينَ
كَفَرُواْ بِآيَاتِنَا سَوْفَ نُصْلِيهِمْ نَاراً كُلَّمَا نَضِجَتْ جُلُودُهُمْ
بَدَّلْنَاهُمْ جُلُوداً غَيْرَهَا لِيَذُوقُواْ الْعَذَابَ إِنَّ اللّهَ كَانَ
عَزِيزاً حَكِيماً
Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum
diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi
maha melihat.
c. Al-Hurriyyah (Kebebasan)
Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi
rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hakhak tersebut dalam
syari’at dikemas dalam al-Ushul alKhams (lima prinsip pokok) yang menjadi
kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah:
a. Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa
(kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat).
b. Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara
untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.
c. Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap
keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara
d. Hifzhun Nasl, yaitu
jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
e. Hifzhul ‘lrdh, yaitu
jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan
setiap warga negara.
Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya
dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM).
d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Semua warga negara haruslah mendapat
perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama
pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau
pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan.
Dari beberapa syarat tersebut tidaklah
terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang
mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud
adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi
kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai
amanat dari Allah.
Harus ita akui, bahwa istilah
“demokrasi” tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum
Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun,
harus diakui bahwa nilainilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai
prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut
Aswaja.
Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan
politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar,
misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi
bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi “perkampungan dunia”, maka demokrasi
harus dapat ditegakkan.
Pada masa lalu banyak banyak ditemui
ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan
pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi.
Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula
jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini
aqidah bukanlah merupakan satusatunya sumber pijakan. Umat sudah banyak
berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural.
Dengan demikian, pemekaran pemikiran
umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng,
jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini.
Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab
pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada
(salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi
tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath’iy).
Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus
dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau
wanita.
BAB II
KESIMPULAN
Kesimpulan dari makalah ini yaitu Jadi, seseorang
dapat dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman) sempurna apabila memenuhi
ketiga unsur keimanan di atas. Apabila seseorang mengakui dalam hatinya tentang
keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan dengan lisan dan dibuktikan dengan
amal perbuatan, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang
sempurna. Sebab, ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang
utuh dan tidak dapat dipisahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin As-suyuthy, 1997. Argumentasi
As-Sunnah kontra atas penyimpangan sumber hukum orisinal; terj. Saifullah, Surabaya,
risalah Gusti.
M. Shiddiq Al-Jawi, 2005. Al-Insan
(Jurnal Kajian Islam) Hadits Nabi Otentisitas dan Upaya Destruksinya, Depok,
Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan.
Muhibbin, 1996. Hadis-hadis
Politik, Yogyakrta, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Lesiska’
Zainal Abidin Ahmad, 1975. Imam Bukhari pemuncak ilmu hadits, Jakarta,
Bulan Bintang.